Malam.
Gue mau share sebuah fanfic keren buatan kaskuser dg ID , cekidot!
Remnants of the Past - Sisa Masa Lalu
Matahari bersinar terik siang itu, di SMU Teitan. Hari itu hari terakhir mereka sebelum liburan musim panas dimulai. Para guru, meskipun begitu, tetap bertekad memberikan pelajaran sampai bel berbunyi, mengabaikan keluh kesah murid. Ai Haibara memandang keluar melewati jendela kelasnya, pikirannya menerawang ke tempat lain…atau lebih tepatnya, ke waktu tertentu.Sudah sepuluh tahun berlalu…semenjak hari itu, ya?
-Flashback-
“Conan!!” teriak Ayumi di sampingnya, histeris. Ia memeluk erat-erat gadis kecil itu, demikian juga Genta dan Mitsuhiko. Toh, hanya merekalah yang tersisa dari Grup Detektif Cilik.
Mereka mengamati kobaran api yang terjadi dari kejauhan. Kelak, surat kabar akan melaporkan bagaimana sebuah bekas pabrik minuman keras di pinggiran kota terbakar secara misterius, namun ia tahu yang sebenarnya. Tempat yang disebut-sebut ‘pabrik minuman’ tersebut, tidak lain dan tidak bukan, adalah jalan masuk utama, sekaligus laboratorium milik ‘Kelompok Berjubah Hitam’ – Ai tersenyum ironis, mengutip nama julukan yang dibuat oleh Conan untuk Organisasi.
Karena, Conan tidak kembali lagi dari peristiwa tersebut….
“Hei, di sini berbahaya, ayo pergi!” beberapa orang polisi datang mendekati anak-anak tersebut, hendak mengungsikan mereka ke tempat yang lebih aman. Ai mengenali kedua orang dari mereka. Miwako dan Takagi.
“Tidak!” Ayumi bersikeras, tangannya meremas tanah erat-erat. “Conan…”
Sebuah tangan hangat menggenggam tangan Ayumi, dan gadis kecil itu berbalik, melihat seorang pemuda berusia belasan tahun, dengan tatapan yang entah kenapa, terasa familiar.
“Conan pasti ingin kalian semua selamat.”
Ayumi akhirnya menurut, dan beranjak pergi ke arah mobil polisi, meskipun masih menangis. Dan dia bukan satu-satunya. Seorang gadis berambut hitam panjang, juga menangis menyaksikan kobaran api, dan bersandar di bahu pemuda tersebut.
“Ran, sudahlah...”
“Tapi, Shinichi!” Ran kehabisan kata-kata untuk menggambarkan perasaannya, kehilangan anak laki-laki yang sudah dia anggap adik sendiri. Shinichi sendiri tidak dapat mengatakan apa-apa, meskipun perasaan bersalah terpancar jelas dari wajahnya.
Ai Haibara sama sekali tidak menangis, tentu saja, namun ia mengamati kejadian itu dari kejauhan, dan menyadari betapa ironi mempermainkan mereka.
Hari itu, Conan Edogawa dinyatakan tewas dalam kebakaran. Hari yang sama, Shinichi Kudo muncul kembali ke muka publik, memberikan laporan lengkap mengenai kasus yang ia tangani, terkait Organisasi, kepada kepolisian Jepang dan FBI.
Tentu saja, hanya sedikit sekali orang yang mengetahui kenyataan yang sebenarnya.
-End of Flashback-
“Ai, hei, Ai!” gadis berambut cokelat itu merasakan sikunya disodok oleh penggaris. Ia menoleh, dan melihat Mitsuhiko nyengir ke arahnya. Anak itu telah tumbuh pesat dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini. Raut mukanya tampak lebih lancip dan dewasa, namun gaya rambutnya masih sama seperti dulu, dan jerawat masih setia menghiasi kedua pipinya.
“Kau tahu kan ini hari apa? Aku sudah menghubungi Genta dan Ayumi, hari ini kita mengadakan peringatan seperti biasa.”
“Ah, ya.”
Terdengar bel berbunyi, dan murid-murid segera berdiri. Ai membutuhkan beberapa waktu untuk membereskan barang-barangnya. Ia agak terkejut, tapi senang, menyadari Mitsuhiko menunggunya di koridor ketika ia keluar.
“Kuperhatikan kau banyak melamun hari ini,” kata Mitsuhiko, ketika mereka berjalan menyusuri koridor. “Apa kau masih memikirkannya?”
“Tidak juga, sudah cukup lama…sudah sepuluh tahun kan? Tapi, seseorang yang berarti bagiku meninggal hari ini, aku hanya sedikit mengenangnya.” Ai berkata ringan.
“Begitu…” Mitsuhiko berkata menatap langit-langit. Mereka berpisah di gerbang sekolah.
“Ah, ada yang harus kukerjakan terlebih dahulu!” Mitsuhiko menatap jam tangannya, “kita berkumpul di rumah Ayumi kelak, ya!” pemuda itu berlari terlebih dahulu. Ai melambaikan tangan.
Ia berjalan sendiri lagi, menyusuri trotoar. Tanpa ada teman mengobrol di sampingnya, pikirannya kembali mengingat beberapa peristiwa lain malam itu, yang menuntun masa depannya menjadi seperti sekarang.
-Flashback-
“Ayah…Ibu…Kakak, semuanya sekarang sudah berakhir,” Ai berkata pada udara kosong, menatap langit cerah di atasnya. Ia sedang berada di balkon, tidak bisa tidur meskipun semua yang telah terjadi hari itu, toh dia juga tidak ingin tidur. Dengan musnahnya organisasi, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bebas, tenang, sama seperti orang-orang lain.
Momen itu terusik ketika seseorang membuka pintu kamarnya. Shinichi berdiri di sana, bernapas terengah-engah, tampaknya ia baru saja berlari.
“Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Ai keheranan.
“Aku mencarimu, tahu! Dengar, aku tidak bisa lama, Ran pasti akan shock kalau aku mendadak hilang lagi, meskipun sebentar, dan kalau bisa, aku tidak ingin polisi mengetahui keberadaanmu di sini.”
“Keberadaanku diketahui polisi?” Ai menyipitkan matanya, meremehkan, “memangnya apa yang polisi akan lakukan padaku? Aku
hanyalah Ai Haibara, anak yatim piatu yang diangkat profesor Agasa, sama sekali tidak ada keterlibatan dengan Organisasi, kecuali sebagai korban mereka. Kecuali kau mau melaporkanku pada mereka, dan untuk itupun, kau tidak punya bukti. Semua obat yang mereka buat, usaha organisasi ‘melawan kematian’, percobaan mereka terhadap manusia, itupun sudah musnah dalam kebakaran beberapa jam yang lalu. Demikian juga dengan Conan Edogawa,” Ai menambahkan, tersenyum menyindir, “jadi apa yang kau- “
Kata-katanya terhenti saat Shinchi menyerahkan cairan berwarna perak kehijauan ke arahnya dalam botol kaca kecil. Matanya terbelalak.
“Itu…dari mana kau dapatkan?”
“Beruntung bagimu. Aku masih sempat menyimpan satu cadangan. Vermouth menghancurkan ratusan lainnya, sebelum dia tewas. Ini untukmu, Shiho Miyano.” Ujar Shinichi, memanggil Ai dengan nama aslinya.
Ai menerima botol tersebut. Pikiran-pikiran berkelebat dalam dirinya. Bagaimana Ayumi menangis karena kehilangan Conan. Bagaimana Genta dan Mitsuhiko juga tampak terpukul. Hari-hari normal yang mereka jalani bersama sebagai ‘Grup Detektif Cilik’. Lalu, kehidupannya di masa lalu. Bagaimana ia tidak pernah mengenal ibunya, bahkan ayahnya pun selalu bersikap dingin terhadapnya, meskipun ia tahu itu demi keselamatannya sendiri. Bagaimana kakaknya, selalu berusaha bersikap ceria di depannya namun diam-diam menjalankan misi rahasia untuk membebaskan dirinya dari Organisasi, dan akhirnya terbunuh. Bahkan sebagai anak kecil, takdirnya telah ditentukan oleh Organisasi saat mereka menyadari ia memiliki bakat yang tidak dimiliki kakaknya, dan ia tidak punya pilihan lain kecuali melayani Organisasi seumur hidup. Kemudian, sesudah meminum obat itu, ia bertemu Conan. Ia bertemu Ayumi, Genta, dan Mitsuhiko, dan berkesempatan mengulang kembali, bagaimana rasanya menjadi anak-anak yang normal, tanpa ketakutan….
PRANG! Ai melemparkan botol tersebut keluar jendela, dan benda itu jatuh berkeping-keping di atas tanah. Shinichi memandangnya tidak percaya.
“Kau….”
“Conan Edogawa sudah mati hari ini, demikian juga Shiho Miyano. Yang tersisa adalah Shinichi Kudo dan Ai Haibara.” Gadis berambut cokelat itu tersenyum, ekspresinya penuh keyakinan.
Shinichi memandangnya, balas tersenyum, “jadi ini pilihanmu? Kalau begitu, selamat mengerjakan tugas-tugas anak SD.” Ia berkata sambil bercanda.
“Aku akan berusaha supaya tidak terlalu menonjol di kelas,” kata Ai. “Anak-anak itu sudah kehilangan kau, tahu, aku tidak akan membiarkan mereka kehilangan seorang lagi.”
“Kalau begitu, tolong jaga mereka. Mereka bisa menjadi detektif…suatu hari kelak.” Shinichi berpesan seraya melambaikan tangan dari balik pintu.
“Shinichi,” kata Ai untuk terakhir kalinya. Detektif tersebut menoleh.
“Kau dan Ran…semoga beruntung. Sampaikan salamku untuknya.”
Shinichi mengangguk, dan bergegas pergi. Ai kembali berjalan ke balkon, dan berkata menghadap langit.
Ayah…Ibu…Kakak…
“Maaf ya, aku tidak bisa memakai nama pemberian kalian. Tapi kali ini aku memiliki kesempatan kedua. Aku akan bisa memenuhi permintaan kalian, untuk hidup dengan baik…dan normal…Tapi aku takkan melupakan kalian. Terima kasih.”
Shiho Miyano, atau lebih tepatnya, Ai Haibara, mengelap bagian sudut matanya yang basah, sebelum kembali ke dalam kamarnya.
-End of flashback-
Tanpa terasa, gadis berambut cokelat tersebut telah tiba di depan rumah. Rumah bercat putih yang familiar. Dia tidak mengetok pintu tentu saja, toh dia tinggal sendiri di situ. Semenjak kematian Profesor Agasa beberapa tahun lalu, ia mendapatkan rumah tersebut. Rumah itu menyisakan banyak kenangan untuknya. Mobil van lama milik Profesor masih tersisa di garasi, meskipun tidak ada yang mengemudikannya, Ai tidak berminat menjualnya dalam waktu dekat. Dia baru hendak membuka pintu, ketika, terdengar seseorang meloncati pagarnya.
“Aduh!” teriak anak laki-laki kecil tersebut, tampaknya ia tidak mengira bahwa ia akan mendarat di atas semak-semak. Anak itu terperanjat melihat Ai, tidak menyangka akan tertangkap basah.
“Wah wah wah…Conan, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Ai pada anak berusia 7 tahun tersebut.
“Aku sedang bersembunyi, Kak, tolong sembunyikan aku-“
“Tolong tangkap dia!” terdengar suara seorang wanita berkata. Ai menoleh, dan menyaksikan Ran Kudo – seorang wanita berusia 27 tahun, ibu rumah tangga, sekaligus juga tetangga sebelah rumah. Anak laki-laki itu bersembunyi di balik badan Ai.
“Aku tidak mau, Ibu menyeramkan!” teriak anak bernama Conan tersebut. Ran, bagaimanapun, berhasil menangkapnya.
“Kau nakal sekali sih!” omel Ran pada anak tersebut, dan kemudian berpaling, meminta maaf pada Ai. “Maaf, anak ini mengganggu.”
“Tidak apa-apa,” kata Ai tersenyum, melihat anak dan ibu tersebut. Conan Kudo, demikian nama anak tersebut, anak tunggal dari pasangan Shinichi dan Ran, benar-benar mewarisi nama yang diberikan padanya. Wajahnya mirip dengan Shinichi sewaktu kecil, tentu saja, namun ia memiliki kelainan pada matanya yang menyebabkan ia harus selalu memakai kacamata. Entah apa yang ada di pikiran Shinchi saat memberinya nama, batin Ai dalam hati. Orang yang mengenali Conan Edogawa, sepuluh tahun yang lalu, semuanya berkata bahwa anak ini benar-benar menyerupai anak tersebut, seolah terlahir kembali.
“Ran! Conan! Kalian di sini?” terdengar suara pria bertanya. Dari balik pagar pembatas kedua rumah, kemudian, terlihat kepala Shinichi menyembul.
“Ayah!”
“Shinichi… bukannya kau ada pekerjaan?” tanya Ran.
“Oh, kasus itu kuserahkan pada polisi, hari ini aku memutuskan pulang cepat.” Ujar Shinichi. Penampilannya tidak berubah semenjak sepuluh tahun lalu, kecuali raut mukanya bertambah dewasa.
“Hari ini ada peringatan, kan?” Shinichi bertanya pada Ai, “kalian juga akan ke sana?”
“Yah, aku akan ke tempat Ayumi, rencananya,” Kata Ai, “kalau ingin pergi, lebih baik kita pergi bersama-sama saja.”
“Peringatan?” tanya Conan, tidak mengerti.
“Iya, kurasa sebaiknya kita ikut pergi, Conan juga ikut.” kata Ran, melupakan
kemarahannya pada anak tersebut.
“…?”Conan hanya kebingungan sendiri.
-xxx-
Di atas bus, sejam kemudian.
“Aku tidak menyangka kalian juga akan ikut,” kata Ayumi, kepada keluarga Kudo, “untunglah Ai mengajak kalian!”
Penampilan Ayumi telah berubah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Ia memanjangkan rambutnya, dan mengikatnya di belakang seperti ekor kuda. Tubuhnya juga tampak lebih atletis, karena ia mengikuti estrakurikuler tenis di sekolahnya. Di sampingnya duduk Genta, yang juga teman sekelasnya. Genta tidak lagi gemuk seperti dulu, tubuhnya tetap besar, namun berotot, sebagai hasil dari kegiatan judo yang dia lakukan secara rutin.
“Apa boleh buat, bagiku Conan sudah seperti adik sendiri… meskipun, aku tidak bisa selalu memperingati peristiwa ini tiap tahun. Ia beruntung punya teman-teman seperti kalian.” Kata Ran.
“Eh, kakak,” tanya Conan kepada Genta yang duduk di sebelahnya, “kenapa mereka menyebut-nyebut namaku segala?”
“Oh iya, Conan belum tahu ya?” tanya Ayumi, mengelus kepala anak kecil tersebut, “kau itu diberi nama sesuai dengan teman kami, salah seorang anggota ‘Grup Detektif’.”
“Lalu?” tanya Conan polos, “di mana dia sekarang?”
Ayumi tidak menjawab pertanyaan tersebut, melainkan tersenyum,
pandangannya menerawang.
“Kita akan mengunjunginya…sekarang.”
Untuk anak seusianya, Conan tergolong anak yang cerdas. Ia mengambil
kesimpulan apa yang terjadi, dan tidak bertanya sepanjang perjalanan tersebut.
Di bagian belakang bus, Mitsuhiko duduk bersebelahan dengan Ai, yang memandang jendela dengan ekspresi bosan.
“Ayumi masih memikirkannya juga, ya…” ujarnya, memulai pembicaraan.
“Si bodoh itu,” kata Ai, pandangannya tidak beranjak dari jendela. Namun ia sengaja mengeraskan suaranya, karena ia tahu, Shinichi, yang hanya berjarak beberapa bangku dari mereka, pasti dapat mendengarnya, “mati begitu saja…tidak memikirkan orang-orang yang dia tinggalkan….”
“Hei…” Mitsuhiko menegurnya, “aku yakin, sebenarnya Conan juga tidak ingin meninggalkan kita, sesekali bersikap baiklah padanya, toh dia sudah mati.”
Kau tidak tahu yang sebenarnya kan, Mitsuhiko? Ai tidak berkata apa-apa.
-xxx-
“Jadi di sini?”
Mereka berada di tengah-tengah tempat terpencil di pinggiran kota. Untuk sampai ke sana, memakan waktu lima belas menit berjalan kaki dari pemberhentian bus terakhir.
Di sana, di tengah-tengah rerumputan yang berdiri liar, dan reruntuhan bekas pabrik, terdapat sebuah makam kecil bertuliskan ‘Conan Edogawa’.
“Benar. Kami selalu berkunjung ke sini setiap tahun.” Kata Ayumi, “dia teman kami, sangat pemberani, sangat cerdas… dia meninggal karena terlibat kasus. Dia sangat mirip denganmu…”
Ai memandang sekilas pada Ayumi, yang menceritakan kisah tersebut pada Conan. Genta dan Mitsuhiko bergantian memberi bunga, demikian juga Ran, yang berlama-lama di depan makam tersebut. Ia memandang ke arah Shinichi, yang sama seperti dirinya, memiliki alasan berbeda untuk berada di sini. Bagi Shinichi, hari ini mungkin hari bersejarah baginya, di mana ia berhasil menumpas Organisasi. Meskipun begitu, raut mukanya masih mencerminkan rasa bersalah setiap kali melihat makam tersebut, dan hal itu cukup membuat Ai puas. Dia sendiri memiliki alasan berbeda untuk berada di sini.
“Ng? Ai, kau mau ke mana?”
“Berjalan-jalan sebentar.” Ujar gadis berambut cokelat tersebut,” aku akan segera kembali.”
Ai berjalan mendekati reruntuhan pabrik tersebut, semakin jauh ke dalam.
“…seseorang yang berarti bagiku meninggal hari ini,” demikian kata-katanya pada Mitsuhiko, dan dia tidak berbohong.
-Flashback-
“Shuichi. Shuichi!” teriak Ai, menggoncangkan tubuh agen tersebut. Tubuh pria tersebut tergeletak di lantai, darah mengalir keluar darinya.
“Shiho. Cepat keluar, pabrik ini akan segera terbakar.” Kata pria tersebut pelan.
“Bagaimana denganmu?” tanya Shiho Miyano.
“Sudah terlambat. Gin berhasil mengenaiku, sisi baiknya, dia juga terbunuh. Di sekitar tempat ini, tidak ada rumah sakit…bahkan kalau aku berhasil keluar dari tempat ini, semuanya sudah terlambat.” Suara Shuichi melemah, dan ia memejamkan mata. “Lagipula, aku tidak punya penyesalan. Dendam kakakmu berhasil dibalaskan, kan?”
“Shuichi…” Shiho merasakan kata-katanya tertahan, ketika tangan pria itu mengusap rambutnya.
“Kau sama saja dengan kakakmu, mencemaskan orang lain. Dunia tidak adil, kalian berdua hanya menjadi korban… baik kau maupun kakakmu, seharusnya berhak mendapatkan kesempatan… kehidupan yang lebih baik. Aku tidak bisa menyelamatkannya… tapi dia pasti ingin kau selamat. Pergilah.”
Shiho menyaksikan untuk beberapa saat, dengan perasaan horor, ketika tubuh tangan Shuichi terkulai lemas, dan tubuhnya berhenti bergerak. Air mata mengaliri wajahnya. Dengan segera, ia bangkit berdiri, berlari menuju pintu keluar seperti yang diminta, tanpa sedikitpun berbalik ke belakang.
-End of Flashback-
“Jika bukan karenamu…aku tidak akan berada di sini sekarang. Terima kasih,”
Ai meletakkan sekuntum bunga di reruntuhan tersebut.
-xxx-
Langit sudah semakin senja, dan burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka masing-masing. Ai masih belum kembali.
“Ai lama sekali,” kata Ayumi, “bus terakhir akan berangkat tidak lama lagi, bagaimana kalau terlewat?”
“Akan kucari dia,” Mitsuhiko menawarkan diri. Sebelum teman-temannya sempat memprotes, ia sudah beranjak pergi terlebih dahulu, meskipun, dia tidak punya ide ke mana harus mencari gadis berambut cokelat tersebut.
Ai Haibara. Gadis itu selalu ‘menghilang’ setiap kali mereka melakukan kunjungan ke makam Conan, meskipun kembali tidak lama kemudian, tanpa memberitahu yang sebenarnya dia lakukan. Jika Ayumi atau Genta terkadang bertanya, ia selalu memberikan jawaban sekenanya. Mitsuhiko mengenalinya semenjak kecil, dan gadis itu selalu dipenuhi rahasia. Dia selalu tampak tenang, dewasa, dan misterius…
Kematian Conan pasti sangat mempengaruhinya, soalnya mereka berdua sama-sama terlibat kasus tersebut, pikir Mitsuhiko. Tidak seperti Ayumi yang terang-terangan tampak sedih, atau Genta yang marah… Ai tampak seolah tidak terpengaruh. Malah, semenjak kematian Conan, ia menjadi lebih terbuka, lebih riang terhadap mereka, seolah-olah membuat mereka melupakan peristiwa tersebut.
Kenapa dia selalu merahasiakan semuanya dari kami? Batin Mitsuhiko. Ia berjalan mendekati reruntuhan, dan pemandangan yang dia saksikan membuat ia melupakan semua pikirannya sebelumnya.
Gadis berambut cokelat itu berdiri di tengah-tengah reruntuhan, wajahnya menengadah menatap langit senja, rambutnya berkibar di tiup angin. Pemuda tersebut merasakan dadanya berdesir. Ai selalu terlihat seperti itu… Menjaga jarak dan sendiri, kesepian… dan hal itulah yang membuatnya sangat tertarik padanya. Dia kelihatannya butuh teman tempat berbagi, dan Mitsuhiko dengan senang hati bersedia melakukan itu untuknya.
Menyadari sedang diawasi, Ai menoleh tepat ke arah pemuda tersebut. Mitsuhiko salah tingkah, dia tidak bisa berpura-pura tidak berada di situ, meskipun ia yakin Ai tidak suka privasinya diganggu. Pada akhirnya ia hanya berseru.
“Ai! Kami mencarimu, sudah waktunya pulang!”
Gadis tersebut mengikutinya tanpa berkata sepatah kata, dan mereka berdua berjalan bersama menuju ke tempat semula.
“Ai,” tanya Mitsuhiko akhirnya,”sebenarnya, apa yang kau lakukan di sana?”
“Mengunjungi makam,” jawab Ai singkat, dan jujur. Mitsuhiko tidak bertanya lebih jauh.
Mereka akhirnya sampai ke tempat semula, di mana yang lain sudah menunggu. Perjalanan kembali ke terminal berlangsung singkat. Tanpa terasa, mereka sudah berada kembali di atas bus, dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.
Ai melihat sekilas dari jendela, reruntuhan pabrik di kejauhan tampak mengecil, sebelum menghilang di kejauhan, tidak lebih dari sisa-sisa masa lalu yang dia tinggalkan, namun akan selalu tetap berada di sana…
Gadis itu memejamkan matanya, merasa damai, dan tertidur tidak lama kemudian. Kepalanya bersandar ke bahu seseorang di sebelahnya. Ayumi yang melihat pemadangan tersebut, tidak membuang kesempatan untuk memfoto mereka berdua.
Ai dan Mitsuhiko, tertidur di bagian belakang bus, kepala mereka saling bersandar satu sama lain.
Bus meluncur dengan tenang sepanjang perjalanan malam itu.
-END-
Tanpa terasa, gadis berambut cokelat tersebut telah tiba di depan rumah. Rumah bercat putih yang familiar. Dia tidak mengetok pintu tentu saja, toh dia tinggal sendiri di situ. Semenjak kematian Profesor Agasa beberapa tahun lalu, ia mendapatkan rumah tersebut. Rumah itu menyisakan banyak kenangan untuknya. Mobil van lama milik Profesor masih tersisa di garasi, meskipun tidak ada yang mengemudikannya, Ai tidak berminat menjualnya dalam waktu dekat. Dia baru hendak membuka pintu, ketika, terdengar seseorang meloncati pagarnya.
“Aduh!” teriak anak laki-laki kecil tersebut, tampaknya ia tidak mengira bahwa ia akan mendarat di atas semak-semak. Anak itu terperanjat melihat Ai, tidak menyangka akan tertangkap basah.
“Wah wah wah…Conan, apa yang sedang kau lakukan di sini?” tanya Ai pada anak berusia 7 tahun tersebut.
“Aku sedang bersembunyi, Kak, tolong sembunyikan aku-“
“Tolong tangkap dia!” terdengar suara seorang wanita berkata. Ai menoleh, dan menyaksikan Ran Kudo – seorang wanita berusia 27 tahun, ibu rumah tangga, sekaligus juga tetangga sebelah rumah. Anak laki-laki itu bersembunyi di balik badan Ai.
“Aku tidak mau, Ibu menyeramkan!” teriak anak bernama Conan tersebut. Ran, bagaimanapun, berhasil menangkapnya.
“Kau nakal sekali sih!” omel Ran pada anak tersebut, dan kemudian berpaling, meminta maaf pada Ai. “Maaf, anak ini mengganggu.”
“Tidak apa-apa,” kata Ai tersenyum, melihat anak dan ibu tersebut. Conan Kudo, demikian nama anak tersebut, anak tunggal dari pasangan Shinichi dan Ran, benar-benar mewarisi nama yang diberikan padanya. Wajahnya mirip dengan Shinichi sewaktu kecil, tentu saja, namun ia memiliki kelainan pada matanya yang menyebabkan ia harus selalu memakai kacamata. Entah apa yang ada di pikiran Shinchi saat memberinya nama, batin Ai dalam hati. Orang yang mengenali Conan Edogawa, sepuluh tahun yang lalu, semuanya berkata bahwa anak ini benar-benar menyerupai anak tersebut, seolah terlahir kembali.
“Ran! Conan! Kalian di sini?” terdengar suara pria bertanya. Dari balik pagar pembatas kedua rumah, kemudian, terlihat kepala Shinichi menyembul.
“Ayah!”
“Shinichi… bukannya kau ada pekerjaan?” tanya Ran.
“Oh, kasus itu kuserahkan pada polisi, hari ini aku memutuskan pulang cepat.” Ujar Shinichi. Penampilannya tidak berubah semenjak sepuluh tahun lalu, kecuali raut mukanya bertambah dewasa.
“Hari ini ada peringatan, kan?” Shinichi bertanya pada Ai, “kalian juga akan ke sana?”
“Yah, aku akan ke tempat Ayumi, rencananya,” Kata Ai, “kalau ingin pergi, lebih baik kita pergi bersama-sama saja.”
“Peringatan?” tanya Conan, tidak mengerti.
“Iya, kurasa sebaiknya kita ikut pergi, Conan juga ikut.” kata Ran, melupakan
kemarahannya pada anak tersebut.
“…?”Conan hanya kebingungan sendiri.
-xxx-
Di atas bus, sejam kemudian.
“Aku tidak menyangka kalian juga akan ikut,” kata Ayumi, kepada keluarga Kudo, “untunglah Ai mengajak kalian!”
Penampilan Ayumi telah berubah dalam sepuluh tahun terakhir ini. Ia memanjangkan rambutnya, dan mengikatnya di belakang seperti ekor kuda. Tubuhnya juga tampak lebih atletis, karena ia mengikuti estrakurikuler tenis di sekolahnya. Di sampingnya duduk Genta, yang juga teman sekelasnya. Genta tidak lagi gemuk seperti dulu, tubuhnya tetap besar, namun berotot, sebagai hasil dari kegiatan judo yang dia lakukan secara rutin.
“Apa boleh buat, bagiku Conan sudah seperti adik sendiri… meskipun, aku tidak bisa selalu memperingati peristiwa ini tiap tahun. Ia beruntung punya teman-teman seperti kalian.” Kata Ran.
“Eh, kakak,” tanya Conan kepada Genta yang duduk di sebelahnya, “kenapa mereka menyebut-nyebut namaku segala?”
“Oh iya, Conan belum tahu ya?” tanya Ayumi, mengelus kepala anak kecil tersebut, “kau itu diberi nama sesuai dengan teman kami, salah seorang anggota ‘Grup Detektif’.”
“Lalu?” tanya Conan polos, “di mana dia sekarang?”
Ayumi tidak menjawab pertanyaan tersebut, melainkan tersenyum,
pandangannya menerawang.
“Kita akan mengunjunginya…sekarang.”
Untuk anak seusianya, Conan tergolong anak yang cerdas. Ia mengambil
kesimpulan apa yang terjadi, dan tidak bertanya sepanjang perjalanan tersebut.
Di bagian belakang bus, Mitsuhiko duduk bersebelahan dengan Ai, yang memandang jendela dengan ekspresi bosan.
“Ayumi masih memikirkannya juga, ya…” ujarnya, memulai pembicaraan.
“Si bodoh itu,” kata Ai, pandangannya tidak beranjak dari jendela. Namun ia sengaja mengeraskan suaranya, karena ia tahu, Shinichi, yang hanya berjarak beberapa bangku dari mereka, pasti dapat mendengarnya, “mati begitu saja…tidak memikirkan orang-orang yang dia tinggalkan….”
“Hei…” Mitsuhiko menegurnya, “aku yakin, sebenarnya Conan juga tidak ingin meninggalkan kita, sesekali bersikap baiklah padanya, toh dia sudah mati.”
Kau tidak tahu yang sebenarnya kan, Mitsuhiko? Ai tidak berkata apa-apa.
-xxx-
“Jadi di sini?”
Mereka berada di tengah-tengah tempat terpencil di pinggiran kota. Untuk sampai ke sana, memakan waktu lima belas menit berjalan kaki dari pemberhentian bus terakhir.
Di sana, di tengah-tengah rerumputan yang berdiri liar, dan reruntuhan bekas pabrik, terdapat sebuah makam kecil bertuliskan ‘Conan Edogawa’.
“Benar. Kami selalu berkunjung ke sini setiap tahun.” Kata Ayumi, “dia teman kami, sangat pemberani, sangat cerdas… dia meninggal karena terlibat kasus. Dia sangat mirip denganmu…”
Ai memandang sekilas pada Ayumi, yang menceritakan kisah tersebut pada Conan. Genta dan Mitsuhiko bergantian memberi bunga, demikian juga Ran, yang berlama-lama di depan makam tersebut. Ia memandang ke arah Shinichi, yang sama seperti dirinya, memiliki alasan berbeda untuk berada di sini. Bagi Shinichi, hari ini mungkin hari bersejarah baginya, di mana ia berhasil menumpas Organisasi. Meskipun begitu, raut mukanya masih mencerminkan rasa bersalah setiap kali melihat makam tersebut, dan hal itu cukup membuat Ai puas. Dia sendiri memiliki alasan berbeda untuk berada di sini.
“Ng? Ai, kau mau ke mana?”
“Berjalan-jalan sebentar.” Ujar gadis berambut cokelat tersebut,” aku akan segera kembali.”
Ai berjalan mendekati reruntuhan pabrik tersebut, semakin jauh ke dalam.
“…seseorang yang berarti bagiku meninggal hari ini,” demikian kata-katanya pada Mitsuhiko, dan dia tidak berbohong.
-Flashback-
“Shuichi. Shuichi!” teriak Ai, menggoncangkan tubuh agen tersebut. Tubuh pria tersebut tergeletak di lantai, darah mengalir keluar darinya.
“Shiho. Cepat keluar, pabrik ini akan segera terbakar.” Kata pria tersebut pelan.
“Bagaimana denganmu?” tanya Shiho Miyano.
“Sudah terlambat. Gin berhasil mengenaiku, sisi baiknya, dia juga terbunuh. Di sekitar tempat ini, tidak ada rumah sakit…bahkan kalau aku berhasil keluar dari tempat ini, semuanya sudah terlambat.” Suara Shuichi melemah, dan ia memejamkan mata. “Lagipula, aku tidak punya penyesalan. Dendam kakakmu berhasil dibalaskan, kan?”
“Shuichi…” Shiho merasakan kata-katanya tertahan, ketika tangan pria itu mengusap rambutnya.
“Kau sama saja dengan kakakmu, mencemaskan orang lain. Dunia tidak adil, kalian berdua hanya menjadi korban… baik kau maupun kakakmu, seharusnya berhak mendapatkan kesempatan… kehidupan yang lebih baik. Aku tidak bisa menyelamatkannya… tapi dia pasti ingin kau selamat. Pergilah.”
Shiho menyaksikan untuk beberapa saat, dengan perasaan horor, ketika tubuh tangan Shuichi terkulai lemas, dan tubuhnya berhenti bergerak. Air mata mengaliri wajahnya. Dengan segera, ia bangkit berdiri, berlari menuju pintu keluar seperti yang diminta, tanpa sedikitpun berbalik ke belakang.
-End of Flashback-
“Jika bukan karenamu…aku tidak akan berada di sini sekarang. Terima kasih,”
Ai meletakkan sekuntum bunga di reruntuhan tersebut.
-xxx-
Langit sudah semakin senja, dan burung-burung beterbangan kembali ke sarang mereka masing-masing. Ai masih belum kembali.
“Ai lama sekali,” kata Ayumi, “bus terakhir akan berangkat tidak lama lagi, bagaimana kalau terlewat?”
“Akan kucari dia,” Mitsuhiko menawarkan diri. Sebelum teman-temannya sempat memprotes, ia sudah beranjak pergi terlebih dahulu, meskipun, dia tidak punya ide ke mana harus mencari gadis berambut cokelat tersebut.
Ai Haibara. Gadis itu selalu ‘menghilang’ setiap kali mereka melakukan kunjungan ke makam Conan, meskipun kembali tidak lama kemudian, tanpa memberitahu yang sebenarnya dia lakukan. Jika Ayumi atau Genta terkadang bertanya, ia selalu memberikan jawaban sekenanya. Mitsuhiko mengenalinya semenjak kecil, dan gadis itu selalu dipenuhi rahasia. Dia selalu tampak tenang, dewasa, dan misterius…
Kematian Conan pasti sangat mempengaruhinya, soalnya mereka berdua sama-sama terlibat kasus tersebut, pikir Mitsuhiko. Tidak seperti Ayumi yang terang-terangan tampak sedih, atau Genta yang marah… Ai tampak seolah tidak terpengaruh. Malah, semenjak kematian Conan, ia menjadi lebih terbuka, lebih riang terhadap mereka, seolah-olah membuat mereka melupakan peristiwa tersebut.
Kenapa dia selalu merahasiakan semuanya dari kami? Batin Mitsuhiko. Ia berjalan mendekati reruntuhan, dan pemandangan yang dia saksikan membuat ia melupakan semua pikirannya sebelumnya.
Gadis berambut cokelat itu berdiri di tengah-tengah reruntuhan, wajahnya menengadah menatap langit senja, rambutnya berkibar di tiup angin. Pemuda tersebut merasakan dadanya berdesir. Ai selalu terlihat seperti itu… Menjaga jarak dan sendiri, kesepian… dan hal itulah yang membuatnya sangat tertarik padanya. Dia kelihatannya butuh teman tempat berbagi, dan Mitsuhiko dengan senang hati bersedia melakukan itu untuknya.
Menyadari sedang diawasi, Ai menoleh tepat ke arah pemuda tersebut. Mitsuhiko salah tingkah, dia tidak bisa berpura-pura tidak berada di situ, meskipun ia yakin Ai tidak suka privasinya diganggu. Pada akhirnya ia hanya berseru.
“Ai! Kami mencarimu, sudah waktunya pulang!”
Gadis tersebut mengikutinya tanpa berkata sepatah kata, dan mereka berdua berjalan bersama menuju ke tempat semula.
“Ai,” tanya Mitsuhiko akhirnya,”sebenarnya, apa yang kau lakukan di sana?”
“Mengunjungi makam,” jawab Ai singkat, dan jujur. Mitsuhiko tidak bertanya lebih jauh.
Mereka akhirnya sampai ke tempat semula, di mana yang lain sudah menunggu. Perjalanan kembali ke terminal berlangsung singkat. Tanpa terasa, mereka sudah berada kembali di atas bus, dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.
Ai melihat sekilas dari jendela, reruntuhan pabrik di kejauhan tampak mengecil, sebelum menghilang di kejauhan, tidak lebih dari sisa-sisa masa lalu yang dia tinggalkan, namun akan selalu tetap berada di sana…
Gadis itu memejamkan matanya, merasa damai, dan tertidur tidak lama kemudian. Kepalanya bersandar ke bahu seseorang di sebelahnya. Ayumi yang melihat pemadangan tersebut, tidak membuang kesempatan untuk memfoto mereka berdua.
Ai dan Mitsuhiko, tertidur di bagian belakang bus, kepala mereka saling bersandar satu sama lain.
Bus meluncur dengan tenang sepanjang perjalanan malam itu.
-END-
Bagus kan? Ending yg keren bgt!
baguuus XD
tapi sayangnya, ff nya lebih fokus ke ai :(
boleh copast ngga? boleh ya? pliss
Iya sih pake POV Ai
silahkaan :)
ending yg bagus..
keren :D izin share
Sugoi keren
👍👍👍3 jempol utkmu min good but cairan yg dibotol tu apa seh penawar aptx 4869 atau obat peng hidup org mati?
👍👍👍3 jempol utkmu min good but cairan yg dibotol tu apa seh penawar aptx 4869 atau obat peng hidup org mati?